Sabtu, 04 Juli 2015

WELCOME TO THE AGE OF PARADOX




            "Orang bekerja untuk mendapatkan uang dengan harapan selanjutnya dia bisa bersenang senang, bertamasya dll, tetapi Tuhan hanya memberikan waktu 24 jam sehari, semakin dia bekerja keras, semakin bagus karier atau usahanya, semakin banyak uang yang didapat, tapi semakin dia tdk memiliki waktu untuk bersenang senang"
          "semakin banyak keluarga double income, tetapi angka perceraian semakin tinggi, fancier home but broken home"
          "semakin banyak experts seharusnya semakin banyak hal terselesaikan, tetapi semakin banyak experts malah semakin banyak problem yang ditimbulkan karena semua merasa paling benar"

          Begitulah yang terjadi disekitar kita, banyak hal dimana, apa yang diharapkan bertentangan dengan apa yang dihasilkan, sesuatu yang paradox, atau bagi saya mungkin jg nampak sebagai ironi.  Itu lah contoh-contoh kejadian sehari-hari yang bersifat paradox yang diungkapkan oleh Charles Handy dalam bukunya the age of paradox dan oleh bpk Rhenald Kasali dalam kultweetnya yang saya dapati beberapa hari lalu. Dan ternyata situasi seperti ini juga dialami dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan, dll, sehingga pola pikir yang bersifat paradox jg nampaknya diperlukan untuk menghadapinya.
           Untuk nembahas lebih lanjut, maka mari kita bicara tentang paradox itu sendiri. Apa itu Paradox?
           Paradox adalah suatu hal yang bertentangan, bertolak belakang, kontradiktif. Charles Handy dalam bukunya yang cukup terkenal “The Age of Paradox” menyebutkan bahwa banyak kejadian di dunia ini yang bersifat paradox, dan kita berada dalam jaman paradox. Konteks paradox ini bisa kita dapati dalam kejadian sehari-hari, dalam dunia bisnis, pendidikan dll dimana tujuan dan hasil sering bertentangan seperti contoh-contoh di atas. Bisa juga dalam pola pikir, jika pada umumnya pola pikir A yang umum digunakan untuk menyikapi suatu kejadian, tetapi ternyata banyak juga orang menggunakan pola pikir B yang bertentangan dalam menyikapi. Dan mungkin masih banyak lagi hal-hal disekitar kita yang bersifat paradox.
Bicara tentang "paradox" maka kita bicara juga tentang "perbedaan",  yang mana pada dasarnya perbedaan itu adalah "keniscayaan" dan itu sudah merupakan sifat alam, suka tidak suka kita akan bertemu dengan hal-hal yang kontradiktif dalam kehidupan, yang terkadang juga memicu munculnya perdebatan, perseteruhan, bahkan mungkin berakhir pada perpecahan. 
Kembali ke paradox, Rhenald Kasali mencontohkan pola berpikir paradox dalam menghadapi krisis, beliau menyebutkan bahwa dalam menghadapi krisis selalu saja ada 2 kelompok yang berbeda. Kelompok pertama (1) hanya mampu melihat bahaya, keburukan dari sebuah krisis, dan tidak mampu melihat kesempatan di balik sebuah krisis. Sedangkan kelompok kedua (2) mereka berpikir sebaliknya, mereka melihat sebuah krisis sebagai kesempatan atau peluang, mereka sadar akan adanya bahaya yang riil di hadapan mereka, tetapi mereka melihat dari kacamata yang berbeda sehingga mampu menemukan peluang di sana.
            Mereka yang masuk dalam kelompok 1 memiliki cara pandang short term, sedangkan orang-orang dalam kelompok 2 memiliki cara pandang long term. Masih ingat krisis ekonomi di tahun 1998, 2008, pada saat itu perekonomian sedang hancur, tetapi ada beberapa investor yang malah menangkap sinyal peluang disana, dia membeli banyak aset dengan harga murah dan sekarang tentu sudah menikmati hasilnya.

Krisis (bukan hanya krisis ekonomi, melainkan di segala aspek) juga diyakini beberapa orang sebagai pendorong perubahan, ya terkadang "Krisis itu dibutuhkan untuk memunculkan urgensi perubahan". Ingat Garuda Indonesia yang pada tahun 2005 mulai kebingungan ketika sudah mulai banyak maskapai baru bermunculan, beberapa jg berbiaya murah, padahal Garuda Indonesia sudah terbiasa dengan situasi bisnis yang bisa dibilang "monopoli", dan seperti biasa kumpulan masalah dalam sebuah bisnis akan berujung pada masalah financial. Tetapi ternyata krisis yang dialami Garuda ini bisa menjadi momentum untuk mulai melakukan perubahan dan bertransformasi, mereka tidak menyerah pada krisis yang di alami. Yang menarik kebijakan CEO nya juga ada yang cukup kontradiktif, atau bisa dibilang paradox, yaitu : prinsip yang mereka buat  yang cukup unik “ We have to be a head of a curve” yang artinya adalah jangan mengikuti kurva yang ada, karena jika kita mengikuti kurva yang ada maka itu berarti kita mengikuti yang lain, kita harus berada di depan kurva yang ada. Salah satu contoh dari prinsip ini adalah : suatu ketika kurva di dalam bisnis penerbangan menurun, pada saat itu dipastikan semua industri penerbangan tidak akan membeli pesawat baru di dalam kondisi tersebut. Tetapi hal tersebut direspon berbeda oleh Garuda Indonesia, dengan lebih memilih menggunakan momen tersebut untuk membeli pesawat baru. Pada awal pembelian tentunya memang sangat tidak produktif, tetapi secara perhitungan dari operasional sudah mampu BEP dan itu sudah cukup bagi mereka saat itu. Suatu ketika, dimana kurva di dalam bisnis penerbangan mulai naik dan perusahaan-perusahaan penerbangan mulai mampu membeli pesawat baru maka harga pesawat sudah meningkat 30% dibandingkan pada saat Garuda melakukan pembelian, dan ini cukup menguntungkan Garuda (baca :Corporate Transformation (National Flag Carrier – garuda Indonesia Airline)
             Contoh lain paradox dalam dunia bisnis yang digambarkan Charles Handy, misalkan salah satunya : Kita sering mendengar ungkapan dont change the winning team, pada umumnya jika perusahaan sudah mengalami kemajuan, dalam posisi yang sudah sangat bagus, maka mereka berusaha mempertahankan strategi, sistem, struktur, dll untuk mempertahankan kemajuan perusahaan. Mereka masuk dalam wilayah comfort zone, mereka tak sadar dunia terus berubah, banyak ancaman diluar sana, dan ketika telah muncul masalah baru mulai ada perbaikan. Charles Handy menyarankan untuk melakukan perbaikan sebelum persoalan, misalkan perbaiki kompetensi perusahaan sebelum muncul permasalahan kompetensi. Sangat perlu bagi perusahaan untuk selalu memikirkan hal-hal yang baru, yang mungkin dampaknya akan mengusik zona nyaman perusahaan dan karyawannya.
Selain dunia bisnis, kita bisa menemukan fenomena-fenomena paradox lainnya termasuk dalam dunia. pendidikan, misalkan : banyak orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah dengan harapan sekolah akan menjadi bekal untuk kehidupan anak-anak mereka di masa mendatang. Tapi apa yang terjadi, banyak sekolah-sekolah yang malah menjauhkan siswanya dari lingkungan, bahkan yang semakin memiliki nama dan mahal sekolah tersebut, semakin tinggi tingkat eksklusivitas nya. Bukankah kelak yang mereka hadapi adalah lingkungan? bukankah mereka akan menghadapi beraneka ragam orang dari beraneka ragam latar belakang baik budaya, pendidikan, sosial ekonomi dll. . Bisakah leadership hanya sebatas teori atau dipraktekkan hanya dengan orang-orang tertentu saja yang ada dalam inner circle mereka yang eksklusif. Banyak sekolah juga terlalu berkonsentrasi dengan hal-hal yang bersifat kognitif saja, padahal jika kita pelajari sejara mereka yang hebat faktor-faktor non kognisi malah yang tampak menonjol dari mereka
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ternyata cara berpikir paradox terkadang memang dibutuhkan. Tiba tiba saya teringat ucapan Anhar gongong dalam sebuah acara di telivisi, beliau mengatakan bahwa "nampaknya dunia ini diubah oleh orang-orang yang berani menyimpang", iya mereka yang hebat, yang legacynya masih tetap dinikmati dan dikagumi sampai saat ini memiliki kecenderungan berpikir paradox. berbeda dari orang-oarang pada umumnya. pemikiran-pemikiran ini yang selanjutnya menjadi dasar keputusan hidup mereka yang juga nampak berbeda dibanding orang-orang biasa pada umumnya. Saya selalu menganggap mereka adalah orang-orang yang memiliki lompatan pemikiran sehingga mungkin pemikirannya, tindakannya nampak tidak wajar di eranya. Sebut saja Kartini, Mandela, Sukarno, Gandhi dan masih banyak yang lain, jika anda membaca biografi mereka pasti anda akan berpikir "iya mereka berbeda sejak awal". Saya selalu berpikir orang-orang yang memiliki loncatan pemikiran melebihi eranya seperti mereka adalah orang-orang yang kritis karena mereka mempelajari dan memahami detail tentang apa yang mereka hadapi, dan juga seorang yang kreatif, karena mereka berpikir melewati batas-batas pemikiran yang ada pada era mereka. (baca : Scientific Approach - Benih Berpikir Kreatif dan Kritis)

Begitulah hidup, tak pernah lepas dari perbedaan, kontradiksi, paradox. Namun jangan anggap semua yang berbeda adalah keburukan, karena mungkin itu akan membawa kebaikan. Banyak dari kita terlalu cepat memberi penilaian tentang sesuatu dengan predikat ''Buruk", padahal sesuatu tersebut belum tentu buruk jika kita melihat dari kacamata lain.


Selamat malam, selamat mengakhiri hari minggu, dan selamat  menjalankan ibadah puasa bagi yang melaksanakan...:)



Senin, 18 Mei 2015

MONOPOLI VS LIBERALISASI Kelistrikan di Indonesia





Bicara soal listrik, maka untuk saat ini kita mungkin bisa memasukkan energi yang satu ini ke salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan saking vitalnya, mungkin bisa disebut bahwa tiada negara di dunia ini yang mampu mengembangkan peradapannya tanpa listrik yang memadai. Sebelum bicara lebih lanjut tentang liberalisasi dan sebagainya ada baiknya kita membahas kondisi kelistrikan di negara kita saat ini. Berdasarkan data yang saya dapat dari sebuah acara dialog bertajuk “CEO tops” dengan narasumber Dirut saat itu yaitu bapak Nur Pamuji pada tanggal 15 Oktober 2014 maka diketahui bahwa secara keseluruhan kontribusi listrik di Indonesia berasal dari :
Tenaga Gas (PLTG)
+/- 22%
Tenaga Batu bara (PLTU)
+/- 50%
Tenaga minyak (PLTD)
+/- 12%
Tenaga Air (PLTA)
+/- 6%
Tenaga Panas Bumi
+/- 5%
Dan lain lain
+/- 5%

Dan dari keseluruhan sumber energi di atas, saat ini Indonesia menggunakan 12% energi terbarukan, dan 88% energi tidak terbarukan.
Dari seluruh pembangkit tersebut dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan tentunya masih ada beberapa tempat yang belum mendapatkan fasilitas listrik dengan cukup memadai, misalkan : defisit yang terjadi di wilayah SUMUT, KALBAR atau pasokan listrik yang pas pasan di SULUT, dan juga beberapa daerah yang berada di daerah terpencil atau Remote area. Bahkan untuk mengaliri listrik di daerah-daerah terpencil menimbulkan kesulitan tersendiri dan biaya yang cukup besar, karena pada umumnya mereka menggunakan PLTD yang menggunakan bahan bakar minyak yang cukup besar biayanya dibanding dengan jika menggunakan pembangkit yang lain, namun jika diselesaikan dengan membangun infrastruktur (pembangkit berbahan bakar lain) juga membutuhkan biaya yang sangat besar.
Masalah geografis di atas juga diikuti kebutuhan listrik yang terus meningkat rata-rata 8% sd 9% per tahunnya di seluruh wilayah Indonesia, atau jika dihitung per wilayah kurang lebih untuk SUMUT 12%, Kalimantan 14%, Sulawesi 14%. Meningkatnya kebutuhan listrik tentu tidak bisa terelakkan lagi dalam suatu negara seiring bertambah majunya peradapan suatu negara, bahkan listrik sudah seperti nyawa bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari segi supply, berdasarkan kapasitas , industri kelistrikan kita mampu men-supply sebesar 48.000 MW, sedangkan demand belum sampai 48.000MW, sehingga masih ada cadangan, namun sayangnya cadangan tersebut tidak merata, paling besar berada di pulau jawa sebesar 30%, sedangkan di pulau lain bervariasi. Sehingga masih didapati beberapa tempat kekurangan pasokan listrik, Seperti di Sumatra dan Kalimantan penambahan kapasitas sudah ada, namun penambahannya tidak secepat pertumbuhan demand (permintaannya).
Nah…..dari uraian di atas untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat maka sangat dibutuhkan penambahan kapasitas di beberapa wilayah dengan pembangunan pembangkit-pembangkit baru di beberapa tempat di Indonesia, dan hal ini sudah diterjemahkan melalui proyek 10.00MW yang sudah dimulai tahun 2006 silam, dan sekarang dilanjutkan dengan proyek 35.000MW , tentunya ini akan menjadi sebuah investasi yang membutuhkan dana yang sangat besar,dan beberapa skema pendanaan nya adalah sebagai berikut :
1.  Seperti pada umumnya, sebuah kebutuhan investasi dapat didanai dari MODAL atau HUTANG, sama halnya juga pada PLN (Perusahaan Listrik Negara). Pada sisi modal penambahan dana dari pemerintah sebagai pemilik korporasi sepertinya tidak memungkinkan jika untuk mengcover semuanya, sedangkan dari sisi hutang , penambahan dana melalui hutang juga sudah tidak memungkinkan mengingat struktur hutang PLN (debt equity ratio) yang sudah cukup besar
2.       Dengan melibatkan pihak swasta
Dari 2 skema pendanaan diatas, tentunya skema pendanaan no 2 cukup sulit dihindari lagi saat ini, ini tampak dari pelaksanaan proyek 35.000MW yang saat ini sedang berjalan. Dari 109 proyek pembangkit listrik berdaya total 35.585MW, sebanyak 74 proyek berkapasitas 25.904MW akan dikerjakan oleh swasta, sementara pemerintah yang dalam hal ini PLN hanya mengerjakan 35 proyek berkapasitas 10.681MW. Skema ini lah yang kemudian berkembang menjadi isu liberalisasi kelistrikan yang seperti banyak kita baca di media massa. Isu liberalisasi semakin merebak dengan munculnya wacana lease back pembangkit yang masuk dalam FTP (Fast Track Programme) 10.00MW kepada Cina yang merupakan kontraktor yang membangunnya.




Jika kita berbicara tentang Monopoli dan Liberalisasi, maka kita perlu penjelasan sebagai berikut :
 Monopoli adalah struktur pasar dengan ciri-ciri :
1.       Hanya ada 1 penjual.
2.       Tidak ada subtitusi produk yang mirip.
3.       Perusahaan monopoli bertindak sebagai price setter
4.    Terdapat hambatan masuk ke pasar dalam bentuk : Undang-Undang; memerlukan tehnologi yang canggih dan modal yang besar .
Hal ini tentu bertentangan dengan Liberalisasi, yang berarti membuka pintu untuk pihak luar, yang dalam hal ini pihak swasta untuk ikut bermain. Praktek liberalisasi tentunya akan membuka pintu persaingan yang pada umumnya akan berdampak pada meningkatnya inovasi, tehnologi, sistem yang akan berujung dengan dihasilkannya : efisiensi perusahaan, peningkatan kualitas pelayanan, memberikan ragam pilihan harga bagi konsumen sehingga mereka bisa menyesuaikan sesuai kebutuhan dan kemampuan, dll.
Dalam konteks industri kelistrikan di Indonesia, saat ini Indonesia masih menggunakan sistem monopoli, namun ternyata seiring dengan meningkatnya peradapan, meningkatnya kebutuhan kelistrikan, maka mengandalkan peran 1 perusahaan saja mungkin akan dirasa sangat berat mengingat wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi dan peradapan yang tentunya meningkatkan kebutuhan listrik dari tahun ke tahun secara pesat. Praktek monopoli juga cenderung membuat sebuah perusahaan tidak mampu beroperasi secara efisien.
Namun di sisi lain melakukan liberalisasi pada sektor yang cukup vital juga sangat beresiko, terlebih efek berantai yang dapat ditimbulkannya. tidak ada jaminan bahwa setelah melakukan liberalisasi dibidang kelistrikan akan menyebabkan harga listrik murah, apalagi jika kembali ke fitrahnya swasta selalu mengejar keuntungan. Tidak ada jaminan pula supply listrik akan langsung terpasok sempurna kepada masyarakat.
Praktek liberalisasi memang telah banyak di lakukan dibeberapa negara seperti negara-negara kawasan Eropa yang memang ini adalah prasyarat untuk masuk menjadi anggota Uni Eropa,  di Amerika Selatan dan Afrika yang memang prasyarat untuk bantuan hutang, kemudian di Jepang, Filipina, Australia, Amerika serikat, dan tentu pula Inggris yang menjadi pelopor liberalisasi kelistrikan I tahun 1990, dan beberapa negara lainnya. Beberapa di antara mereka melakukan liberalisasi 100% dari hulu ke hilir (mulai dari PEMBANGKIT, TRANSMISI, sd DISTRIBUSI) seperti yang terjadi di Inggris, Australia. Sedangkan beberapa negara hanya melakukan beberapa % saja, misalkan hanya di hulunya saja  (PEMBANGKIT, TRANSMISI). Dan tentunya tidak semuanya memberikan hasil yang memuaskan, bahkan yang paling menakutkan adalah berpindahnya praktek monopoli dari pemerintah ke swasta, ini tentunya sangat membahayakan.
Lalu apakah Indonesia saat ini sudah mengarahkan diri ke sana? Jika meninjau kebijakan-kebijakan baru pemerintah terkait
1.        Pemberian 74 proyek kepada IPP (Independent Power Producer), dari total 109 proyek yang akan dilaksanakan untuk program 35.000MW
2.   Wacana tentang lease back pembangkit yang masuk dalam FTP (Fast Track Programme) 10.000MW beberapa tahun lalu,  kepada Cina yang merupakan kontraktor yang membangunnya.
bisa dikatakan merupakan sinyal mulai dibukanya pintu untuk pihak swasta untuk turut bermain pada aras hulu industri kelistrikan di Indonesia. Sisi positif dari kebijakan ini adalah :
1.           Terbantunya pemerintah dalam mewujukan program 35.000MW. dengan melibatkan IPP tersebut maka cukup meringankan pemerintah di dalam pelaksanaan program, mengingat dana investasi yang dibutuhkan untuk program ini sangatlah besar yang sangat sulit untuk di cover oleh pemerintah secara keseluruhan.
2.       Terkait wacana Lease back, sisi positif dari alternatif ini adalah : memperlancar pelaksanaan proyek 10.000MW yang tidak sesuai harapan dikarenakan pembangkit-pembangkit buatan Cina yang kurang baik mutunya, sehingga kapasitas listrik yang dihasilkan tidak sesuai target, sehingga pihak Cina harus bertanggung jawab atas hal ini. Selain itu Pemerintah bisa mendapat dana tunai dari LeaseBack yang bisa dialokasikan untuk program 35.000MW. Dan yang terakhir aset akan tetap menjadi milik bangsa, karena pada jangka waktu tertentu aset akan dikembalikan ke Indonesia.
Namun selain sisi positif, hal yang perlu diwaspadai adalah :
1.        Terbukanya kesempatan bagi para pemain swasta untuk ikut andil dalam membentuk harga. Dan harga yang terbentuk untuk sebuah produk yang vital seperti listrik akan memunculkan efek berantai seperti : meningkatnya harga (inflasi), pertumbuhan ekonomi terganggu, melemahnya daya beli masyarakat, dll.  
2.             Masalah penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu dicermati, para putra bangsa yang terdidik dan kompeten di bidang kelistrikan harus tetap menjadi raja di negara sendiri. Jangan sampai mereka menjadi asing di negaranya sendiri.
3.        Untuk wacana Lease Back , pada periode dimana leasing akan berakhir, aset yang kembali ke Indonesia nilai ekonomisnya sudah berkurang.
Maka dari itu untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada, maka perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasinya dalam bentuk regulasi yang cermat, dan juga kuat yang mampu memberikan posisi yang aman terhadap apapun yang berhubungan dengan kelistrikan di Inonesia baik itu terkait harga, ketersediaan pasokan, keterlibatan putra bangsa, dll. Paul L Joskow dalam jurnalnya yang berjudul “Lessons Learned From Electricity Market Liberalization” menyarankan bahwa dalam liberalisasi kelistrikan perlu ada : design restrukturisasi, design kompetisi, design pasar (wholesale an retail market) yang jelas, serta  regulatory reform. Semoga uraian di atas bermanfaat, selamat pagi dan selamat beraktifitas.

artikel ini saya unggah juga di :
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/05/18/monopoli-vs-liberalisasi-kelistrikan-di-indonesia-725153.html

Minggu, 11 Januari 2015

Corporate Transformation (National Flag Carrier – garuda Indonesia Airline)



Entah mengapa semua yang terkait dengan transformasi, perubahan, dan segala turunannya sangat menarik perhatian saya, dan selalu bikin gemas walaupun mungkin topiknya sudah lewat dari masa ke-update annya, seperti yang akan saya bahas kali ini tentang Corporate Transformation dari salah satu perusahaan milik Negara yang disebut juga “National Flag Carrier,  yang kegiatan bisnisnya bukan hanya sekedar tentang bisnis tapi juga bisa disebut sebagai Brand Ambassador dari suatu negara, bagaimana tidak performanya, pelayanannya, cukup memberikan kontribusi terhadap penilaian pihak luar terhadap Negara kita. Iya dia adalah Garuda Indonesia Airlines, salah satu maskapai penerbangan plat merah milik Negara.
Corporate Transformation yang akan kita bahas kali ini adalah yang terjadi sejak tahun 2005 sejak kepemimpinan Garuda dibawah Emirsyah Satar. Pada dasarnya jika ditarik mundur, perubahan-perubahan yang fundamental juga sudah dilaksanakan di masa-masa sebelumnya, namun transformasi di tahun 2005 cukup menarik mengingat pada masa itu banyak muncul maskapai baru, yang tentunya cukup membuahkan masalah bagi Garuda yang sudah cukup terbiasa dengan situasi bisnis yang bisa dibilang “monopoli” di tahun-tahun sebelumnya.

Dari sebuah video dialog tentang Corporate Transformation dengan narasumber bapak Emirsyah Satar, beliau menyebutkan bahwa pada awal kepemimpinannya di pertengahan tahun 2005, ada 3  masalah pokok yang dihadapi yaitu :



           Diatas adalah paparan dari beberapa contoh masalah dari 3 pokok masalah yang dihadapi, dan seperti pada umumnya, setiap masalah-masalah yang terjadi pada suatu kegiatan bisnis akan berujung pada munculnya permasalahan keuangan. Pada dasarnya pada tahun 1998 perusahaan juga pernah mengalami kondisi keuangan yang memburuk, namun meskipun mengalami masalah yang sama tetapi dengan isu yang berbeda. Pada tahun 1998 kondisi memburuk dikarenakan kondisi perekonomian yang memang sedang memburuk. Pada tahun 1998 Garuda juga memiliki banyak fat (aset) sehingga bisa menjadi cadangan untuk dijual, sedangkan pada tahun 2005 tidak, sehingga tidak memiliki cadangan.
           Mengawali sebuah perubahan, transformasi bukanlah hal yang mudah. Perubahan tentunya akan membuahkan ketidak nyamanan bagi para pelakunya, yang tidak lain adalah seluruh karyawan Garuda itu sendiri. Untuk itu perlu dibuat Strategic Plan yang jelas, dan harus dikomunikasikan ke seluruh lapisan karyawan, agar mereka tahu arah dan tujuannya. Karena pastinya akan sangat sulit dan membingungkan bagi seluruh karyawan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan baru, tanpa mereka tahu tujuan, arah dari kebijakan-kebijakan baru tersebut. Maka dibuatlah Strategic Plan dalam bentuk segitiga seperti pada gambar di bawah ini 



            Salah satu yang menarik dari Strategic Plan di atas adalah diluncurkannya Garuda indonesia Experience pada tahun 2009.  Ini adalah salah satu cara Garuda menggunakan Core Competitive yang dimilikinya. Berada di lingkungan, regional dimana carrier businessnya termasuk yang terbaik, seperti Malaysia, Singapura tentunya cukup menyulitkan Garuda. Perlu Uniqueness tersendiri, dan apakah itu ? Being Indonesia , ini adalah uniqueness yang tidak dimiliki oleh Negara-negara lain. Indonesia sangatlah terkenal dengan Diversity & hospitality nya, dan ini lah yang kemudian dikemas dalam bentuk konsep pelayanan  Garuda Indonesia Experience, yang dilaksanakan dengan pendekatan 5 indra yaitu : Sight, Taste, Touch, Sound, Scent. Contoh-contoh pelayanan dalam konsep pelayanan Garuda Indonesia Experience yang menggunakan 5 pendekatan tersebut adalah :
  • .        Salam khas bercirikan budaya bangsa Indonesia oleh para pramugari
  • .        Pramugari menggunakan kebaya sebagai seragam mereka
  • .     Interior kursi motif batik, tetapi yang telah diemboss 1 warna agar tidak memusingkan ketika dilihat
  • .        Dinding di kantor atau executive lounge  dari anyaman bambu.      
  •       Makanan khas Indonesia
  • .        Lagu “The sound of Indonesia”  oleh Adie MS
  • .        Aroma terapi khas Indonesia

Konsep pelayanan ini mampu memberikan pengalaman unik bagi para calon wisatawan yang akan berkunjung ke Indonesia, mereka bisa merasakan suasana khas Indonesia sebelum mereka sampai ke Indonesia. Sedangkan bagi para penumpang dari dalam negeri yang akan menuju ke luar negeri akan merasakan suasana ke Indonesiaan sampai mereka menginjakkan kaki di negara lain. Dalam industri penerbangan sendiri setidaknya terdapat 28 touch point dengan pelanggan, mulai dari Pre Journey sampai dengan Post journey, dan hal ini tentunya juga menjadi konsen Garuda Indonesia. Pelayanan terus menjadi perhatian bagi Garuda, hal ini juga untuk memberikan positioning yang jelas bagi Garuda. Mengikuti arus dengan masuk dalam price war akan tidak ada habisnya. Sedangkan untuk segmen menengah kebawah Garuda Indonesia memiliki Citilink sebagai LCC (Low Cost Carrier)
            Ada yang menarik dari transformasi yang dilakukan , yaitu adanya sebuah prinsip yang cukup unik We have to be a head of a curve yang artinya adalah jangan mengikuti kurva yang ada, karena jika kita mengikuti kurva yang ada maka itu berarti kita mengikuti yang lain, kita harus berada di depan kurva yang ada. Salah satu contoh dari prinsip ini adalah : suatu ketika kurva di dalam bisnis penerbangan menurun, pada saat itu dipastikan semua industri penerbangan tidak akan membeli pesawat baru di dalam kondisi tersebut. Tetapi hal tersebut direspon berbeda oleh Garuda Indonesia, dengan lebih memilih menggunakan momen tersebut untuk membeli pesawat baru. Pada awal pembelian tentunya memang sangat tidak produktif, tetapi secara perhitungan dari operasional sudah mampu BEP dan itu sudah cukup bagi mereka saat itu. Suatu ketika, dimana kurva di dalam bisnis penerbangan mulai naik dan perusahaan-perusahaan penerbangan mulai mampu membeli pesawat baru maka harga pesawat sudah meningkat 30% dibandingkan pada saat Garuda melakukan pembelian, dan ini cukup menguntungkan Garuda.
        Industri penerbangan adalah salah satu industri yang cukup rumit. Keberadaannya sangat diinginkan semua orang, diinginkan dunia karena sebagai sarana transportasi yang sangat dibutuhkan untuk lintas Negara, lintas pulau, yang menghubungkan 1 tempat dengan tempat lain yg sangat jauh dengan waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan alat transportasi lainnya. Namun demikian industri penerbangan ini juga cukup sulit meraih keuntungan dikarenakan investasinya sangat massif, bisnisnya highly regulated, dan melibatkan banyak kepentingan di sana. Maka dari itu mungkin bisa dibenarkan jika ada sebuah artikel dalam sebuah media massa yang menyebutkan bahwa mungkin tidak ada industri global yang lebih chaotic dibandingkan industri penerbangan. Namun apapun kondisinya, apapun situasinya menurut saya tetap ada ruang bagi mereka para change maker¸para transformational leader untuk  bisa tetap membawa bisnis ini tetap berkibar.
          Seperti apa yang sudah saya tuliskan sebelumnya (buka Re-code Your Change DNA.) bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini selain kematian dan perubahan itu sendiri. Dan dalam perubaha-perubahan tersebut kita sebagai manusia, institusi hanya dihadapkan dua pilihan : bertahan dengan kebijakan lama, kondisi lama, dan kemudian mati, terpuruk oleh perubahan yang terjadi di sekitar kita. Atau kita bisa memilih untuk mengikuti perubahan dengan melakukan beberapa atau banyak perubahan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Dan tentunya pilihan kedua adalah pilihan yang sangat bijak untuk menghadapi sebuah perubahan. Pada kasus yang dihadapi Garuda, rupanya kebijakan-kebijakan lama, corporate culture yang lama sudah tidak cocok lagi digunakan untuk menghadapi lingkungan baru, kompetitor baru, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan.
                Sebuah transformasi dalam sebuah institusi, terlebih jika institusi tersebut cukup besar maka sangatlah dibutuhkan keberadaan pemimpin yang tidak biasa. Mereka haruslah seorang transformational leader¸seorang change maker, yang kualitas kepemimpinannya pun juga tidak diragukan. Transformasi untuk sebuah perusahaan besar sudah tidak bisa hanya bermodalkan intuisi, perlu pengetahuan yang luas, perlu analisa yang mendalam, perlu strategic planning yang jelas, dan kemudian strategic planning ini  juga perlu dikomunikasikan ke seluruh lapisan karyawan agar terciptakan 1 mimpi, 1 tujuan yang sama antara satu dengan yang lain, dan yang terakhir perlu diciptakan 1 semangat untuk mencapai nya. Dan tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, karena sekali lagi perubahan itu pastinya sangat mengusik zona nyaman pelakunya, yang berarti dalam sebuah institusi adalah semua karyawan dalam institusi tersebut, dan tidak berhenti disitu perubahan juga bisa mengusik zona nyaman para stake holder mereka seperti dalam kasus ini pemilik saham dalam hal ini pemerintah, supplier dll.
        Saat ini secara internal kondisi Garuda Indonesia sudah cukup bagus, bahkan telah banyak penghargaan yang diraih akhir-akhir ini, salah satunya sebagai airline terbaik no 7 dunia versi skytrax di bawah cathay, Qatar, Singapore Airlines, Emirates, Turkish dan ANA. Namun demikian seperti apa yang dikemukakan Jim Collins dalam bukunya Good to Great, bahwa “ Good is the enemy of great”, yang artinya kondisi internal yang baik ini jangan membuat terlena, karena bisa saja terlena akibat keberhasilan di masa lalu bisa menjadi sebab dari keterpurukan di masa mendatang. Garuda harus selalu jeli terhadap setiap informasi, perubahan, kondisi eksternal dan melakukan penyesuaian terhadapnya.      

Good Night......