Entah
mengapa semua yang terkait dengan transformasi, perubahan, dan segala
turunannya sangat menarik perhatian saya, dan selalu bikin gemas walaupun
mungkin topiknya sudah lewat dari masa ke-update annya, seperti yang akan saya
bahas kali ini tentang Corporate Transformation dari salah
satu perusahaan milik Negara yang disebut juga “National Flag Carrier”, yang kegiatan bisnisnya bukan hanya sekedar
tentang bisnis tapi juga bisa disebut sebagai “Brand Ambassador” dari
suatu negara, bagaimana tidak performanya, pelayanannya, cukup memberikan
kontribusi terhadap penilaian pihak luar terhadap Negara kita. Iya dia adalah
Garuda Indonesia Airlines, salah satu maskapai penerbangan plat merah milik
Negara.
Corporate
Transformation yang akan kita bahas kali ini adalah yang terjadi sejak
tahun 2005 sejak kepemimpinan Garuda dibawah Emirsyah Satar. Pada dasarnya jika
ditarik mundur, perubahan-perubahan yang fundamental juga sudah dilaksanakan di
masa-masa sebelumnya, namun transformasi di tahun 2005 cukup menarik mengingat pada
masa itu banyak muncul maskapai baru, yang tentunya cukup membuahkan masalah
bagi Garuda yang sudah cukup terbiasa dengan situasi bisnis yang bisa dibilang “monopoli” di tahun-tahun sebelumnya.
Dari
sebuah video dialog tentang Corporate Transformation dengan
narasumber bapak Emirsyah Satar, beliau menyebutkan bahwa pada awal
kepemimpinannya di pertengahan tahun 2005, ada 3 masalah pokok yang dihadapi
yaitu :
Diatas adalah
paparan dari beberapa contoh masalah dari 3 pokok masalah yang dihadapi, dan
seperti pada umumnya, setiap masalah-masalah yang terjadi pada suatu kegiatan bisnis
akan berujung pada munculnya permasalahan keuangan. Pada dasarnya pada tahun
1998 perusahaan juga pernah mengalami kondisi keuangan yang memburuk, namun
meskipun mengalami masalah yang sama tetapi dengan isu yang berbeda. Pada tahun
1998 kondisi memburuk dikarenakan kondisi perekonomian yang memang sedang
memburuk. Pada tahun 1998 Garuda juga memiliki banyak fat (aset) sehingga bisa
menjadi cadangan untuk dijual, sedangkan pada tahun 2005 tidak, sehingga tidak
memiliki cadangan.
Mengawali sebuah perubahan,
transformasi bukanlah hal yang mudah. Perubahan tentunya akan membuahkan
ketidak nyamanan bagi para pelakunya, yang tidak lain adalah seluruh karyawan
Garuda itu sendiri. Untuk itu perlu dibuat Strategic Plan yang jelas, dan harus dikomunikasikan ke seluruh lapisan karyawan, agar mereka tahu arah
dan tujuannya. Karena pastinya akan sangat sulit dan membingungkan
bagi seluruh karyawan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan baru, tanpa mereka
tahu tujuan, arah dari kebijakan-kebijakan baru tersebut. Maka dibuatlah Strategic
Plan dalam bentuk segitiga
seperti pada gambar di bawah ini
Salah satu yang
menarik dari Strategic Plan di atas adalah diluncurkannya Garuda
indonesia Experience pada tahun 2009.
Ini adalah salah satu cara Garuda menggunakan Core Competitive yang
dimilikinya. Berada di lingkungan, regional dimana carrier businessnya termasuk yang terbaik, seperti
Malaysia, Singapura tentunya cukup menyulitkan Garuda. Perlu Uniqueness
tersendiri, dan apakah itu ? Being Indonesia , ini adalah uniqueness yang tidak
dimiliki oleh Negara-negara lain. Indonesia sangatlah terkenal dengan Diversity & hospitality
nya, dan ini lah yang kemudian dikemas dalam bentuk konsep pelayanan Garuda Indonesia Experience, yang dilaksanakan dengan pendekatan 5 indra yaitu : Sight,
Taste, Touch, Sound, Scent. Contoh-contoh pelayanan dalam konsep
pelayanan Garuda Indonesia Experience yang menggunakan 5 pendekatan
tersebut adalah :
- . Salam khas bercirikan budaya bangsa Indonesia oleh para pramugari
- . Pramugari menggunakan kebaya sebagai seragam mereka
- . Interior kursi motif batik, tetapi yang telah diemboss 1 warna agar tidak memusingkan ketika dilihat
- . Dinding di kantor atau executive lounge dari anyaman bambu.
- Makanan khas Indonesia
- . Lagu “The sound of Indonesia” oleh Adie MS
- . Aroma terapi khas Indonesia
Konsep pelayanan
ini mampu memberikan pengalaman unik bagi para calon wisatawan yang akan
berkunjung ke Indonesia, mereka bisa merasakan suasana khas Indonesia sebelum
mereka sampai ke Indonesia. Sedangkan bagi para penumpang dari dalam negeri
yang akan menuju ke luar negeri akan merasakan suasana ke Indonesiaan sampai
mereka menginjakkan kaki di negara lain. Dalam industri penerbangan sendiri setidaknya
terdapat 28 touch point dengan pelanggan, mulai dari Pre Journey sampai dengan Post
journey, dan hal ini tentunya juga menjadi konsen Garuda Indonesia.
Pelayanan terus menjadi perhatian bagi Garuda, hal ini juga untuk memberikan positioning
yang jelas bagi Garuda. Mengikuti arus dengan masuk dalam price war akan tidak ada
habisnya. Sedangkan untuk segmen menengah kebawah Garuda Indonesia memiliki
Citilink sebagai LCC (Low Cost Carrier)
Ada yang menarik dari
transformasi yang dilakukan , yaitu adanya sebuah prinsip yang cukup unik “ We have to be a head of a curve” yang artinya adalah jangan mengikuti kurva yang ada,
karena jika kita mengikuti kurva yang ada maka itu berarti kita mengikuti yang
lain, kita harus berada di depan kurva yang ada. Salah satu contoh dari
prinsip ini adalah : suatu ketika kurva di dalam bisnis penerbangan menurun,
pada saat itu dipastikan semua industri penerbangan tidak akan membeli pesawat
baru di dalam kondisi tersebut. Tetapi hal tersebut direspon berbeda oleh
Garuda Indonesia, dengan lebih memilih menggunakan momen tersebut untuk membeli
pesawat baru. Pada awal pembelian tentunya memang sangat tidak produktif, tetapi secara perhitungan dari
operasional sudah mampu BEP dan itu sudah cukup bagi mereka saat itu. Suatu
ketika, dimana kurva di dalam bisnis penerbangan mulai naik dan
perusahaan-perusahaan penerbangan mulai mampu membeli pesawat baru maka harga
pesawat sudah meningkat 30% dibandingkan pada saat Garuda melakukan pembelian,
dan ini cukup menguntungkan Garuda.
Industri penerbangan adalah
salah satu industri yang cukup rumit. Keberadaannya sangat diinginkan semua
orang, diinginkan dunia karena sebagai sarana transportasi yang sangat
dibutuhkan untuk lintas Negara, lintas pulau, yang menghubungkan 1 tempat
dengan tempat lain yg sangat jauh dengan waktu yang relatif lebih singkat
dibandingkan alat transportasi lainnya. Namun demikian industri penerbangan ini
juga cukup sulit meraih keuntungan dikarenakan investasinya sangat massif,
bisnisnya highly regulated, dan melibatkan banyak kepentingan di sana.
Maka dari itu mungkin bisa dibenarkan jika ada sebuah artikel dalam sebuah
media massa yang menyebutkan bahwa mungkin tidak ada industri global
yang lebih chaotic dibandingkan industri
penerbangan. Namun apapun kondisinya, apapun situasinya menurut saya
tetap ada ruang bagi mereka para change maker¸para transformational
leader untuk bisa tetap
membawa bisnis ini tetap berkibar.
Seperti apa yang sudah saya
tuliskan sebelumnya (buka Re-code Your Change DNA.) bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini selain
kematian dan perubahan itu sendiri. Dan dalam perubaha-perubahan tersebut kita
sebagai manusia, institusi hanya dihadapkan dua pilihan : bertahan dengan
kebijakan lama, kondisi lama, dan kemudian mati, terpuruk oleh perubahan yang
terjadi di sekitar kita. Atau kita bisa memilih untuk mengikuti perubahan
dengan melakukan beberapa atau banyak perubahan untuk beradaptasi dengan lingkungan
baru. Dan tentunya pilihan kedua adalah pilihan yang sangat bijak untuk
menghadapi sebuah perubahan. Pada kasus yang dihadapi Garuda, rupanya
kebijakan-kebijakan lama, corporate culture yang lama sudah
tidak cocok lagi digunakan untuk menghadapi lingkungan baru, kompetitor baru,
maka perlu dilakukan perubahan-perubahan.
Sebuah transformasi dalam sebuah
institusi, terlebih jika institusi tersebut cukup besar maka sangatlah dibutuhkan
keberadaan pemimpin yang tidak biasa. Mereka haruslah seorang transformational leader¸seorang change maker, yang kualitas kepemimpinannya pun juga
tidak diragukan. Transformasi untuk sebuah perusahaan besar sudah tidak bisa
hanya bermodalkan intuisi, perlu pengetahuan yang luas, perlu analisa yang
mendalam, perlu strategic planning yang
jelas, dan kemudian strategic planning ini juga perlu dikomunikasikan ke
seluruh lapisan karyawan agar terciptakan 1 mimpi, 1 tujuan yang sama antara
satu dengan yang lain, dan yang terakhir perlu diciptakan 1 semangat untuk
mencapai nya. Dan tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, karena sekali
lagi perubahan itu pastinya sangat mengusik zona nyaman pelakunya, yang berarti
dalam sebuah institusi adalah semua karyawan dalam institusi tersebut, dan
tidak berhenti disitu perubahan juga bisa mengusik zona nyaman para stake
holder mereka seperti dalam
kasus ini pemilik saham dalam hal ini pemerintah, supplier dll.
Saat ini secara internal kondisi
Garuda Indonesia sudah cukup bagus, bahkan telah banyak penghargaan yang diraih
akhir-akhir ini, salah satunya sebagai airline terbaik no 7 dunia versi skytrax
di bawah cathay, Qatar, Singapore Airlines, Emirates, Turkish dan ANA. Namun
demikian seperti apa yang dikemukakan Jim Collins dalam bukunya Good
to Great, bahwa “ Good is the enemy of great”, yang
artinya kondisi internal yang baik ini jangan membuat terlena, karena bisa saja
terlena akibat keberhasilan di masa lalu bisa menjadi sebab dari keterpurukan
di masa mendatang. Garuda harus selalu jeli terhadap setiap informasi,
perubahan, kondisi eksternal dan melakukan penyesuaian terhadapnya.
Good Night......