Bicara
soal listrik, maka untuk saat ini kita mungkin bisa memasukkan energi yang satu
ini ke salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan saking vitalnya, mungkin bisa
disebut bahwa tiada negara di dunia ini yang mampu
mengembangkan peradapannya tanpa listrik yang memadai. Sebelum
bicara lebih lanjut tentang liberalisasi dan sebagainya ada baiknya kita
membahas kondisi kelistrikan di negara kita saat ini. Berdasarkan data yang
saya dapat dari sebuah acara dialog bertajuk “CEO tops” dengan narasumber Dirut
saat itu yaitu bapak Nur Pamuji pada
tanggal 15 Oktober 2014 maka diketahui bahwa secara keseluruhan kontribusi
listrik di Indonesia berasal dari :
Tenaga
Gas (PLTG)
|
+/- 22%
|
Tenaga
Batu bara (PLTU)
|
+/- 50%
|
Tenaga
minyak (PLTD)
|
+/- 12%
|
Tenaga
Air (PLTA)
|
+/- 6%
|
Tenaga
Panas Bumi
|
+/- 5%
|
Dan
lain lain
|
+/- 5%
|
Dan dari
keseluruhan sumber energi di atas, saat ini Indonesia menggunakan 12% energi
terbarukan, dan 88% energi tidak terbarukan.
Dari
seluruh pembangkit tersebut dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas
dan berbentuk kepulauan tentunya masih ada beberapa tempat yang belum
mendapatkan fasilitas listrik dengan cukup memadai, misalkan : defisit yang
terjadi di wilayah SUMUT, KALBAR atau pasokan listrik yang pas pasan di SULUT,
dan juga beberapa daerah yang berada di daerah terpencil atau Remote area. Bahkan untuk mengaliri
listrik di daerah-daerah terpencil menimbulkan kesulitan tersendiri dan biaya
yang cukup besar, karena pada umumnya mereka menggunakan PLTD yang menggunakan
bahan bakar minyak yang cukup besar biayanya dibanding dengan jika menggunakan
pembangkit yang lain, namun jika diselesaikan dengan membangun infrastruktur
(pembangkit berbahan bakar lain) juga membutuhkan biaya yang sangat besar.
Masalah
geografis di atas juga diikuti kebutuhan listrik yang terus meningkat rata-rata
8% sd 9% per tahunnya di seluruh wilayah Indonesia, atau jika dihitung per
wilayah kurang lebih untuk SUMUT 12%, Kalimantan 14%, Sulawesi 14%. Meningkatnya
kebutuhan listrik tentu tidak bisa terelakkan lagi dalam suatu negara seiring
bertambah majunya peradapan suatu negara, bahkan listrik sudah seperti nyawa
bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari segi supply, berdasarkan kapasitas
, industri kelistrikan kita mampu men-supply sebesar 48.000 MW, sedangkan
demand belum sampai 48.000MW, sehingga masih ada cadangan, namun sayangnya
cadangan tersebut tidak merata, paling besar berada di pulau jawa sebesar 30%,
sedangkan di pulau lain bervariasi. Sehingga masih didapati beberapa tempat
kekurangan pasokan listrik, Seperti di Sumatra dan Kalimantan penambahan
kapasitas sudah ada, namun penambahannya tidak secepat pertumbuhan demand (permintaannya).
Nah…..dari
uraian di atas untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat maka
sangat dibutuhkan penambahan kapasitas di beberapa wilayah dengan pembangunan
pembangkit-pembangkit baru di beberapa tempat di Indonesia, dan hal ini sudah
diterjemahkan melalui proyek 10.00MW yang sudah dimulai tahun 2006 silam, dan
sekarang dilanjutkan dengan proyek 35.000MW , tentunya ini akan menjadi sebuah
investasi yang membutuhkan dana yang sangat besar,dan beberapa skema pendanaan
nya adalah sebagai berikut :
1. Seperti pada umumnya, sebuah kebutuhan
investasi dapat didanai dari MODAL
atau HUTANG, sama halnya juga
pada PLN (Perusahaan Listrik Negara).
Pada sisi modal penambahan
dana dari pemerintah sebagai pemilik korporasi sepertinya tidak memungkinkan
jika untuk mengcover semuanya, sedangkan
dari sisi hutang , penambahan dana melalui hutang
juga sudah tidak memungkinkan mengingat struktur hutang PLN (debt
equity ratio) yang sudah cukup besar
2.
Dengan melibatkan pihak swasta
Dari 2
skema pendanaan diatas, tentunya skema
pendanaan no 2 cukup sulit
dihindari lagi saat ini, ini tampak dari pelaksanaan proyek 35.000MW yang saat
ini sedang berjalan. Dari 109 proyek pembangkit listrik berdaya total 35.585MW,
sebanyak 74 proyek berkapasitas 25.904MW akan dikerjakan oleh swasta, sementara
pemerintah yang dalam hal ini PLN hanya mengerjakan 35 proyek berkapasitas
10.681MW. Skema ini lah yang kemudian
berkembang menjadi isu liberalisasi kelistrikan yang seperti banyak kita
baca di media massa. Isu liberalisasi
semakin merebak dengan munculnya wacana lease
back
pembangkit yang masuk dalam FTP (Fast
Track Programme) 10.00MW kepada Cina yang merupakan kontraktor yang
membangunnya.
Jika
kita berbicara tentang Monopoli dan Liberalisasi, maka
kita perlu penjelasan sebagai berikut :
Monopoli
adalah struktur pasar dengan ciri-ciri :
1.
Hanya ada 1 penjual.
2.
Tidak ada subtitusi produk yang mirip.
3.
Perusahaan monopoli bertindak sebagai price
setter
4. Terdapat hambatan masuk ke pasar dalam bentuk
: Undang-Undang; memerlukan tehnologi yang canggih dan modal yang besar .
Hal ini
tentu bertentangan dengan Liberalisasi,
yang berarti membuka pintu untuk pihak luar, yang dalam hal ini pihak swasta
untuk ikut bermain. Praktek liberalisasi tentunya akan membuka pintu persaingan yang pada
umumnya akan berdampak pada meningkatnya
inovasi, tehnologi, sistem yang akan berujung dengan dihasilkannya : efisiensi perusahaan, peningkatan kualitas
pelayanan, memberikan ragam pilihan harga bagi konsumen sehingga mereka bisa
menyesuaikan sesuai kebutuhan dan kemampuan, dll.
Dalam konteks industri kelistrikan di Indonesia, saat ini Indonesia masih
menggunakan sistem monopoli, namun ternyata seiring dengan meningkatnya
peradapan, meningkatnya kebutuhan kelistrikan, maka mengandalkan peran 1
perusahaan saja mungkin akan dirasa sangat berat mengingat wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan
ekonomi dan peradapan yang tentunya meningkatkan kebutuhan listrik dari tahun
ke tahun secara pesat. Praktek
monopoli juga cenderung membuat sebuah perusahaan tidak mampu beroperasi secara
efisien.
Namun di sisi lain melakukan
liberalisasi pada sektor yang cukup vital juga sangat beresiko, terlebih efek
berantai yang dapat ditimbulkannya. tidak ada jaminan bahwa setelah
melakukan liberalisasi dibidang kelistrikan akan menyebabkan harga listrik
murah, apalagi jika kembali ke fitrahnya swasta selalu mengejar keuntungan.
Tidak ada jaminan pula supply listrik akan langsung terpasok sempurna kepada
masyarakat.
Praktek liberalisasi memang telah banyak di lakukan dibeberapa negara
seperti negara-negara kawasan Eropa yang memang ini adalah prasyarat untuk
masuk menjadi anggota Uni Eropa, di
Amerika Selatan dan Afrika yang memang prasyarat untuk bantuan hutang, kemudian
di Jepang, Filipina, Australia, Amerika serikat, dan tentu pula Inggris yang
menjadi pelopor liberalisasi kelistrikan I tahun 1990, dan beberapa negara
lainnya. Beberapa di antara mereka melakukan liberalisasi 100% dari
hulu ke hilir (mulai dari PEMBANGKIT, TRANSMISI, sd DISTRIBUSI)
seperti yang terjadi di Inggris, Australia. Sedangkan beberapa negara hanya
melakukan beberapa % saja, misalkan hanya di hulunya saja (PEMBANGKIT, TRANSMISI). Dan
tentunya tidak semuanya memberikan hasil yang memuaskan, bahkan yang paling menakutkan adalah berpindahnya praktek monopoli dari
pemerintah ke swasta, ini tentunya sangat membahayakan.
Lalu apakah Indonesia saat ini sudah mengarahkan diri ke sana? Jika
meninjau kebijakan-kebijakan baru pemerintah terkait
1. Pemberian 74 proyek kepada IPP (Independent Power Producer),
dari total 109 proyek yang akan dilaksanakan untuk program 35.000MW
2. Wacana tentang lease
back pembangkit
yang masuk dalam FTP (Fast Track Programme) 10.000MW beberapa
tahun lalu, kepada Cina yang merupakan kontraktor yang membangunnya.
bisa
dikatakan merupakan sinyal mulai dibukanya pintu untuk pihak swasta untuk turut
bermain pada aras hulu industri kelistrikan di Indonesia. Sisi positif dari
kebijakan ini adalah :
1. Terbantunya
pemerintah dalam mewujukan program 35.000MW. dengan melibatkan IPP tersebut
maka cukup meringankan pemerintah di dalam pelaksanaan program, mengingat dana
investasi yang dibutuhkan untuk program ini sangatlah besar yang sangat sulit
untuk di cover oleh pemerintah secara
keseluruhan.
2. Terkait wacana Lease back, sisi positif dari alternatif ini adalah : memperlancar
pelaksanaan proyek 10.000MW yang tidak sesuai harapan dikarenakan
pembangkit-pembangkit buatan Cina yang kurang baik mutunya, sehingga kapasitas
listrik yang dihasilkan tidak sesuai target, sehingga pihak Cina harus
bertanggung jawab atas hal ini. Selain itu Pemerintah bisa mendapat dana tunai dari
LeaseBack yang bisa dialokasikan
untuk program 35.000MW. Dan yang terakhir aset akan tetap menjadi milik bangsa,
karena pada jangka waktu tertentu aset akan dikembalikan ke Indonesia.
Namun selain
sisi positif, hal yang perlu diwaspadai adalah :
1. Terbukanya kesempatan bagi para pemain swasta
untuk ikut andil dalam membentuk harga. Dan harga yang terbentuk untuk sebuah
produk yang vital seperti listrik akan memunculkan efek berantai seperti :
meningkatnya harga (inflasi), pertumbuhan ekonomi terganggu, melemahnya daya
beli masyarakat, dll.
2.
Masalah penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM)
juga perlu dicermati, para putra bangsa yang terdidik dan kompeten di bidang
kelistrikan harus tetap menjadi raja di negara sendiri. Jangan sampai mereka
menjadi asing di negaranya sendiri.
3. Untuk wacana Lease
Back , pada periode dimana leasing
akan berakhir, aset yang kembali ke Indonesia nilai ekonomisnya sudah
berkurang.
Maka dari itu untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada,
maka perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasinya dalam bentuk regulasi yang cermat, dan juga kuat yang mampu memberikan posisi
yang aman terhadap apapun yang berhubungan dengan kelistrikan di Inonesia baik
itu terkait harga, ketersediaan pasokan, keterlibatan putra bangsa, dll. Paul L
Joskow dalam jurnalnya yang berjudul “Lessons Learned From Electricity Market
Liberalization” menyarankan bahwa dalam liberalisasi kelistrikan perlu
ada : design restrukturisasi, design
kompetisi, design pasar (wholesale an retail market) yang jelas,
serta regulatory reform.
Semoga uraian di atas bermanfaat, selamat pagi dan selamat beraktifitas.
artikel ini saya unggah juga di :
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/05/18/monopoli-vs-liberalisasi-kelistrikan-di-indonesia-725153.html