Berawal dari mengisi waktu luang di sebuah tempat baru, mulai saya menjelajah file file lama saya, dan mulai muncul keinginan untuk mencoba menulis atau menerbitkan beberapa tulisan lama saya…..Jika diawali dengan pendapat saya tentang lifestyle kemarin, maka tulisan kali ini sebenarnya hanya mempos kan ulang sebuah tulisan yang sempat saya tulis, saya kirimkan ke beberapa Koran tetapi Ditolak dengan indah, terakhir saya terbitkan di sebuah buku kumpulan karya tulis ilmiah milik institusi tempat saya bekerja sendiri J
Ok mari kita urai ulang secara popular tentang judul ini “Harapan di Balik Kebijakan Penurunan BI Rate”…bagi beberapa orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi tentu ini hal yang biasa, tapi bagi orang awam mungkin perlu diperjelaskan lagi apa maksud judul di atas. Sejak awal Juli 2005 BI telah menggunakan mekanisme BI Rate (Suku Bunga BI) untuk digunakan sebagai acuan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). BI Rate ditentukan sebagai acuan untuk mengarahkan suku bunga SBI, kemudian penurunan SBI ini diharapkan akan diikuti oleh perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit, dan pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini memang peran perbankan di Indonesia sangatlah besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dibandingkan peran lembaga keuangan lainnya, sehingga penurunan suku bunga kredit adalah berita bagus yang sangat ditunggu oleh para pelaku bisnis di sektor riil, terutama para UMKM yang sangat tergantung dengan perbankan. Menurut Miranda S Goeltom dikutip dari Jawa Pos 4 Juli 2009 : “ Penurunan suku bunga mampu memfasilitasi percepatan penyaluran kredit perbankan di tengah stabilitas makro yang terkendali, pertumbuhan kredit 15 % saja tahun ini sudah cukup menopang pertumbuhan ekonomi 4 %”. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah penurunan BI rate ini akan berujung pada penurunan suku bunga kredit? Ketika BI memangkas BI Rate pada kisaran 7,25 % suku bunga kredit masih tetap bertengger pada kisaran 13% - 15%, mengapa? Dan bagaimana seharusnya?
Ok mungkin beberapa gambaran berikut mampu memberikan penjelasan pertanyaan di atas. Kondisi perekonomian pada saat itu (tahun 2009) yang masih dipengaruhi krisis keuangan global, memberikan imbas kepada para pelaku bisnis di Indonesia, salah satunya permintaan luar negeri yang menurun menyebabkan semakin lesunya perekonomian, namun Indonesia saat itu masih sangat beruntung karena pertumbuhan ekonominya masih cukup baik dibandingkan Negara lain pasca krisis, hal ini dikarenakan permintaan domestic masih cukup besar, terutama keberadaan moment PEMILU, yang cukup meningkatkan permintaan domestic (Bisa dipahami bukan ???tentu bisa anda bayangkan seberapa besar permintaan parpol terhadap barang-barang domestic untuk kepentingan kampanye).
Namun dengan adanya kebijakan penurunan BI Rate pada saat itu, kenapa pihak perbankan masih cenderung tidak mau menurunkan tingkat suku bunga kreditnya dikarenakan :
1. Perbankan masih takut mengambil resiko dikarenakan persepsi perbankan terhadap sector riil yang masih dirasa beresiko. Perbankan lebih memilih berinvestasi pada SBI dan Surat Berharga Negara (seperti SUN) daripada menurunkan suku bunga kredit, karena dianggap lebih aman, tidak memiliki resiko, dan dengan hasil yang pasti.
2. Pada umumnya perbankan juga masih menawarkan suku bunga deposito yang tinggi agar deposan tetap mau memarkirkan dananya di sebuah bank, sehingga tentunya mereka harus mendapatkan hasil dari suku bunga kredit yang besar untuk mengcovernya;
3. Bank menerapkan suku bunga kredit yang tinggi dikarenakan premi resiko yang tinggi dan juga terkadang kesempatan untuk merealisasikan laba dengan tingginya nilai spread.
Pada dasarnya memang penurunan BI rate tidak secara langsung berdampak pada penurunan suku bunga kredit, dan BI juga tidak bisa memaksakan perubahan tersebut kepada perbankan. Untuk mengikuti penurunan BI rate perbankan membutuhkan waktu transisi, karena perbankan masih terikat dengan kontrak-kontrak deposito, tabungan, dll, hal ini dipertimbangkan selain juga pertimbangan resiko oleh bank seperti dijelaskan di atas. Lalu bagaimana untuk mengatasi kondisi seperti ini ?
1. Bagi perbankan perlu adanya penilaian dan pemahaman yang mendalam terhadap nasabahnya, sehingga dengan mengenal betul debiturnya diharapkan premi resiko yang ditetapkan bisa ditekan, dan resiko kredit macet pun mungkin berkurang.
2. Bagi bank-bank pemerintah bisa menjadi inisiator dalam penurunan suku bunga kredit, dan ini akan merangsang perbankan lainnya untuk mengikuti penurunan tersebut.
3. Bagi perbankan biaya-biaya overhead yang dinilai tidak terlalu perlu bisa dipangkas (biaya overhead sebagai salah satu komponen dari suatu bunga, selain base lending rate; spread, premi resiko, dll)
4. Bagi pemerintah perlu mengupayakan adanya suatu situasi makro ekonomi yang baik,
5. Bagi pemerintah perlu menganalisis lebih jauh dampak dari alokasi kas oleh instansi-instansi pemerintah yang mulai merambah SBI, Surat berharga Negara, yang tentunya dalam jumlah besar, apakah memiliki andil terhadap terbentuknya besaran suku bunga
Daftar Rujukan
Bagus Santoso. “ Menanti Era Suku Bunga Rendah”. Warta Ekonomi, No 10/XXI. 8-31 Mei 2009
Bank Sentral Republik Indonesia. Monetary : Bi Rate. http://www.bi.go.id/web/en/Moneter. 2 Juni 2010
Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan. 2001. Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Veithzal Rivai.; Andria P.V. dan Ferry N I. 2007. Bank and Financial Institution Management. Rajawali Pers. Jakarta.