Minggu, 29 Mei 2011

Harapan di Balik Kebijakan Penurunan BI Rate


              
                Berawal dari mengisi waktu luang di sebuah tempat baru, mulai saya menjelajah file file lama saya, dan mulai muncul keinginan untuk mencoba menulis atau menerbitkan beberapa tulisan lama saya…..Jika diawali dengan pendapat saya tentang lifestyle kemarin, maka tulisan kali ini sebenarnya hanya mempos kan ulang sebuah tulisan yang sempat saya tulis, saya kirimkan ke beberapa Koran tetapi Ditolak dengan indah, terakhir saya terbitkan di sebuah buku kumpulan karya tulis ilmiah milik institusi tempat saya bekerja sendiri J
               Ok mari kita urai ulang secara popular tentang judul ini “Harapan di Balik Kebijakan Penurunan BI Rate”…bagi beberapa orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi tentu ini hal yang biasa, tapi bagi orang awam mungkin perlu diperjelaskan lagi apa maksud judul di atas.
                Sejak awal Juli 2005 BI telah menggunakan mekanisme BI Rate (Suku Bunga BI) untuk digunakan sebagai acuan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). BI Rate ditentukan sebagai acuan untuk mengarahkan suku bunga SBI, kemudian penurunan SBI ini diharapkan akan diikuti oleh perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit, dan pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi.
                 Sampai saat ini memang peran perbankan di Indonesia sangatlah besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dibandingkan peran lembaga keuangan lainnya, sehingga penurunan suku bunga kredit adalah berita bagus yang sangat ditunggu oleh para pelaku bisnis di sektor riil, terutama para UMKM yang sangat tergantung dengan perbankan. Menurut Miranda S Goeltom dikutip dari Jawa Pos 4 Juli 2009 : “ Penurunan suku bunga mampu memfasilitasi percepatan penyaluran kredit perbankan di tengah stabilitas makro yang terkendali, pertumbuhan kredit 15 % saja tahun ini sudah cukup menopang pertumbuhan ekonomi 4 %”. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah penurunan BI rate ini akan berujung pada penurunan suku bunga kredit? Ketika BI memangkas BI Rate pada kisaran 7,25 % suku bunga  kredit masih tetap bertengger pada kisaran 13% - 15%, mengapa? Dan bagaimana seharusnya?
                Ok mungkin beberapa gambaran berikut mampu memberikan penjelasan pertanyaan di atas.  Kondisi perekonomian pada saat itu (tahun 2009) yang masih dipengaruhi krisis keuangan global, memberikan imbas kepada para pelaku bisnis di Indonesia,  salah satunya permintaan luar negeri yang menurun menyebabkan semakin lesunya perekonomian, namun Indonesia saat itu masih sangat beruntung karena pertumbuhan ekonominya masih cukup baik dibandingkan Negara lain pasca krisis, hal ini dikarenakan permintaan domestic masih cukup besar, terutama keberadaan moment PEMILU, yang cukup meningkatkan permintaan domestic (Bisa dipahami bukan ???tentu bisa anda bayangkan seberapa besar permintaan parpol terhadap barang-barang domestic untuk kepentingan kampanye). 

                Namun dengan adanya kebijakan penurunan BI Rate pada saat itu, kenapa pihak perbankan masih cenderung tidak mau menurunkan tingkat suku bunga kreditnya dikarenakan :
1.       Perbankan masih takut mengambil resiko dikarenakan persepsi perbankan terhadap sector riil yang masih dirasa beresiko. Perbankan lebih memilih berinvestasi pada SBI dan Surat Berharga Negara (seperti SUN) daripada menurunkan suku bunga kredit, karena dianggap lebih aman, tidak memiliki resiko, dan dengan hasil yang pasti.
2.        Pada umumnya perbankan juga masih menawarkan suku bunga deposito yang tinggi agar deposan tetap mau memarkirkan dananya di sebuah bank, sehingga tentunya mereka harus mendapatkan hasil dari suku bunga kredit yang besar untuk mengcovernya;
3.       Bank menerapkan suku bunga kredit yang tinggi dikarenakan  premi resiko yang tinggi dan juga terkadang kesempatan untuk merealisasikan laba dengan tingginya nilai spread.
                Pada dasarnya memang penurunan BI rate tidak secara langsung berdampak pada penurunan suku bunga kredit, dan BI juga tidak bisa memaksakan perubahan tersebut kepada perbankan. Untuk mengikuti penurunan BI rate perbankan membutuhkan waktu transisi, karena perbankan masih terikat dengan kontrak-kontrak deposito, tabungan, dll, hal ini dipertimbangkan selain juga pertimbangan resiko oleh bank seperti dijelaskan di atas. Lalu bagaimana untuk mengatasi kondisi seperti ini ?
1.       Bagi perbankan perlu adanya penilaian dan pemahaman yang mendalam terhadap nasabahnya, sehingga dengan mengenal betul debiturnya diharapkan premi resiko yang ditetapkan bisa ditekan, dan resiko kredit macet pun mungkin berkurang.
2.       Bagi bank-bank pemerintah bisa menjadi inisiator dalam penurunan suku bunga kredit, dan ini akan merangsang perbankan lainnya untuk mengikuti penurunan tersebut.
3.       Bagi perbankan biaya-biaya overhead yang dinilai tidak terlalu perlu bisa dipangkas (biaya overhead sebagai salah satu komponen dari suatu bunga, selain base lending rate; spread, premi resiko, dll)
4.       Bagi pemerintah perlu mengupayakan adanya suatu situasi makro ekonomi yang baik,
5.       Bagi pemerintah perlu menganalisis lebih jauh dampak dari alokasi kas oleh instansi-instansi pemerintah yang mulai merambah SBI,  Surat berharga Negara, yang tentunya dalam jumlah besar, apakah memiliki andil terhadap terbentuknya besaran suku bunga
Daftar Rujukan

Bagus Santoso. “ Menanti Era Suku Bunga Rendah”. Warta Ekonomi, No 10/XXI. 8-31 Mei 2009
Bank Sentral Republik Indonesia. Monetary : Bi Rate. http://www.bi.go.id/web/en/Moneter. 2 Juni 2010
Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan. 2001. Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Jawa Pos. BI Rate mencapai level terendah. http://www.jawapos.com/ekonomi. 4 Juli 2009
Veithzal Rivai.; Andria P.V. dan Ferry N I. 2007. Bank and Financial Institution Management. Rajawali Pers. Jakarta.


Lifestyle


                Ya…terinspirasi dari kejadian semalam, then I decide to write this. Ok harus direview dulu dimanakah saya dan apa sejarahnya. Ok saya berasal dari sebuah kota di Jawa Timur yang bisa dikatakan tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil, yaitu kota Malang….ya cukup ramai, dan sehari hari nya dulu disibukkan dengan kegiatan kantor, sehingga ritme kehidupan pun terasa sangat cepat….tiap pagi sdh buru2 membawa setumpuk buku dan kertas, mengemudi mobil pun diatur kecepatannya sesuai kemepetan jamnya dan itupun juga sering terkena macet, dll….yang jelas ritme hidup terasa cepat sekali, bahkan dulu sering merasa I need more than 24 hours a day . Dan sekarang sampailah pada suatu saat saya harus menjalankan peran sebagai istri dengan mengikuti suami ke sebuah wilayah kerjanya yaitu di sebuah PLTA terpencil di Sulawesi Selatan bernama “Bakaru”
                Dari judunya : “ PLTA” tentunya tempat ini sangat terpencil, jauh dari pemukiman penduduk, tetapi sebagai keluarga dari karyawan kami menempati suatu kompleks yang cukup lah beberapa fasilitasnya, rumah, wifi , sarana2 olah raga dll, tetapi tetap saja beberapa hal yang biasanya alami muncul di masyarakat jarang muncul di sini, misalnya : keberadaan para penjual makanan;  penjual barang dll, bahkan untuk ke pasar terdekat saja kita membutuhkan waktu 1 jam dan itupun sebuah pasar yang tidak terlalu besar dan hanya buka tiap hari Kamis dan Minggu, serta tidak menjual daging hanya hasil laut
Sehingga sampailah pada kejadian semalam yang membuat saya berpikir tentang sesuatu. Ya kemarin malam hujan cukup deras, ide memasak sudah habis, sampai tidak tahu harus makan apa…..kangen sekali dengan suara duk duk org jual bakso, nasi goreng atau teng teng suara org jual tahu tek, tahu campur dll, sampai seorang teman yang habis pulang dari Pare Pare membawa sekantung  “Pisang Molen”….ya makanan yang dulu sangat biasa dan sering terabaikan ini bahkan langsung diserbu oleh saya dan suami dengan mata berbinar, sambil berteriak…”Yezzzz ada makanan kota” hehehe antara terharu, pengen ketawa, dan pengen berpikir. Kemudian saya cek isi dompet saya, seluruh uang masih berjajar rapi, kartu debit tak pernah digunakan selama beberapa minggu ini, boro boro kartu kredit….ya intinya semua masih rapi, karena total tidak ada pengeluaran sama sekali disini kalaupun ada hanya pengeluaran untuk belanja ke pasar, kasih upah beberapa org yg dimintain bantuan, dan membeli  bbrp makanan (ada 3 pedagang makanan disini : kedai makanan sehari2, cilok, dan bakso….tapi itu pun pagi dan siang )…Saya jadi ingat dulu biasanya setiap mendekati akhir bulan (saat gajian) saya sudah selalu bingung merencanakan membeli tas, baju, asesoris dll….tetapi itu tidak berlaku disini..jangankan fashion dll,membelanjakan uang untuk makanan saja kesusahan. Yang berarti intinya terjadi perubahan “ Gaya Hidup”
Sampailah saya pada ingatan saya pada sebuah tulisan tentang “GAYA HIDUP” , bahwa dalam lingkup sosial terdapat 4 gaya hidup (Prof Sjafri Sairin ):
1.       Gaya hidup “Industri”
Yaitu sebuah gaya hidup yang mengutamakan gengsi
2.       Gaya hidup “Hedonis”
Yaitu gaya hidup yang suka berfoya-foya
3.       Gaya hidup “Pertanian”
Yaitu sebuah gaya hidup yang pas pas an.
4.       Gaya hidup “ Trible”
Yaitu sebuah gaya hidup khas pedalaman
Menurut Prof Sjafri Sairin dari UGM,  kota Malang (kota asal saya) merupakan campuran 3 gaya hidup teratas, yaitu Industri, Hedonis, dan Pertanian. Ya…kalau melihat situasinya memang tepat sekali, melihat mall berjajar, fashion selalu update, dll yang selalu up to date,….bahkan jujur saya sering mencontek fashion mahasiswa saya untuk asesoris, tas dsb. Merk merk mobil, baju, tas dll sampai tempat nongkrong pun menjadi konsentrasi tiap elemen penduduknya….dan mungkin ini jg ditandai dng ritme hidup yang terasa cepat dan selalu aktif setiap saat….namun dibeberapa tempat Gaya Hidup Pertanian juga terasan di beberapa daerah di tepian kota Malang, karena tidak bias dipungkiri dari lokasi yang sangat luas dan merupakan wilayah pegunungan, kelompok masyarakat dengan gaya hidup pertanian pasti ada
Sekarang lets talk  about Bakaru….sepertinya potensi untuk  Gaya Hidup industri dan Hidonis saya kira berpotensi bagi para pendatang yaitu karyawan setempat, tapi karena wilayah dan kondisi…maka tempat ini murni bergaya hidup pertanian, why ? ya kalau saya sebut Trible ya terlalu sadis, tidak seperti itu lah , tapi disebut pertanian  karena lokasi yang jauh dari kota. Hal ini sangat jauh berbeda jika kita bandingkan di beberapa kota besar di Indonesia (Thanks God kita punya negara luas banget dan beragam....) dimana merk, model, brand menjadi bagian dari konsentrasi penduduknya.......misalkan untuk fashion semua pada berburu merk Louis Vuitton, Chanel, Gucci, Hermes, Prada, Cristian Dior dll…duh banyak sekali bahkan ampe rela kalau tdk punya uang cukup cari bentuk ini dalam bentuk KW 2, KW3 dll.
Tetapi ini berdasarkan opini saya,  bukan hasil riset seperti yang dilakukan  di Malang, dan saya jg sebagai pengamat yang tidak terlalu paham masalah ini (karena selama ini saya  hanya berkutat pada ilmu-ilmu keuangan) dan masih mengamati dalam waktu yang tidak terlalu lama (bertahun-tahun)